Hadîts Qudsiy
Definisi
Secara bahasa (Etimologis), kata
القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang
dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta’ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah
ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.
Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an
Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
- Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta’ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta’ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam.
- Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
- Syarat validitas al-Qur’an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
Dibandingkan dengan jumlah
hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak.
Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.
Contoh:
Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu ‘anhu dari Nabi
Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari
Allah Ta’ala bahwasanya Dia berfirman,
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya
Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya
diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu
sama lain).” (HR.Muslim)
Lafazh-Lafazh Periwayatannya
Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla
قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Allah Ta’ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam dari-Nya
Buku Mengenai Hadîts Qudsiy
Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab
الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية
(al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya ‘Abdur Ra`uf
al-Munawiy. Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.
Hadits Hasan
Definisi
a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah
Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl
(الجمال): kecantikan, keindahan.
b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya
berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan
sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua
bagiannya saja.
Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:
1. Definisi al-Khaththâby : yaitu,
“setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para
periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh
kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim
as-Sunan:I/11)
2. Definisi at-Turmudzy : yaitu,
“setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang
tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz
(janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih
dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan
Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah
al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar
al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat
(hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz,
maka inilah yang dinamakan Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen).
Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih
(Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)
Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân
mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar
adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya.
Alias kurang (mantap) daya ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang
paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali
kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah
definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li
Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya
beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada
dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan
karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hadits hasan adalah:
“Hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat
(hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya
(mata rantai terakhir), tidak terdapat kejanggalan (Syudzûdz) ataupun
‘Illat di dalamnya.”
Hukumnya
Di dalam berargumentasi dengannya,
hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia
berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih
menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Demikian juga,
mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali
pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras
(al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar
(al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh
seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat
mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih yang sebelumnya dijelaskan.”
(Tadrîb ar-Râwy:I/160)
Contoh:
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah
menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy
menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar bin
Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat
berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya
pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Hadits ini adalah Hasan karena empat
orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat
dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang
merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn
Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu,
derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.
Tingkatan-Tingakatannya
Sebagaimana hadits Shahih yang
memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa
berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits
Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan
tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari
kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn
Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai
hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Ke-dua, hadits lain yang
diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits
al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan
semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang
shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
1. Ucapan para ulama hadits, “Ini
adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan
mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini
adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan
mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan
sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau
‘Illat.
Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini
adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada
kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini.
Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,”
maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya
tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat
dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan
Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena
belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.
Akan tetapi, bila seorang Hâfizh
(penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas
mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan
‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka
pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab
asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada
Syudzûdz.
Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama
Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh”
Secara implisit, bahwa ungkapan
seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari
hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal
derajatnya berbeda?. Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama
memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan
at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan
oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
1. Jika suatu hadits itu memiliki dua
sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka
maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan
Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
2. Bila ia hanya memiliki satu sanad
saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh
menurut sekelompok ulama yang lain.”
Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan
kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum
terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan
dari salah satu dari ke-duanya.
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh
Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Di dalam kitabnya, “Mashâbîh
as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu
mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab
ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada
hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan
an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah)
dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras
dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam
kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan
Munkar.
Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan
an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang
pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah
khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut
ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya
Dapat Ditemukan Hadits Hasan
Para ulama belum ada yang mengarang
kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja
sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam
kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab yang
di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling
masyhur adalah:
1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang
lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk
di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang
memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak
menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan,
bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan
beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus
memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq
(dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli
(manuscript) yang dapat dipercaya.
2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang
buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya
kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang
sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan
yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak
dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu,
bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan
kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya
Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.